Ketua K3PP Tubaba: Mengapa Rokok Ilegal Menjadi Pilihan, Karena Negara Gagal Mensejahterakan Rakyatnya

Ilustrasi rokok-Pixabay-
Oleh: Ahmad Basri (Ketua K3PP Tubaba)
Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah penikmat rokok terbesar di dunia. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa jumlah perokok aktif di diperkirakan mencapai 70 juta orang. Belum data yang perokok pasif.
Angka itu mencerminkan tingginya konsumsi masyarakat terhadap rokok. Itulah mengapa industri rokok menjadi arena bisnis yang sangat kompetitif bahkan strategis bagi penerimaan negara.
Salah satu sumber utama pemasukan negara adalah cukai hasil tembakau. Pada 2024 saja setoran dari sektor rokok mencapai sekitar Rp 111 Triliun dan menjadikannya salah satu kontributor pajak terbesar setelah sektor energi dan pertambangan.
Dengan nilai sebesar itu wajar pemerintah memiliki kepentingan besar untuk menjaga keberlangsungan industri rokok legal. Setidaknya beberapa tahun terakhir ini industri rokok legal menghadapi “serangan” dari rokok ilegal.
BACA JUGA:Hasil Penelitian Ilmiah, 95 Persen Laki-Laki di Indonesia Perokok, Habiskan 12 Batang Perhari
Peredaran rokok ilegal merambah pasar dari kota besar hingga pelosok desa. Hal ini ditandai dengan merek-merek yang asing di telinga namun harganya sangat bersahabat bagi kantong masyarakat.
Sebaliknya para pengusaha rokok legal tentu resah sebab memotong pangsa pasar dan juga menggerus penerimaan negara dari cukai. Fenomena maraknya rokok ilegal sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi masyarakat.
Penyebabnya penghasilan sebagian besar masyarakat khususnya kelas menengah bawah tidak mengalami perubahan malah menurun. Hasilnya jelas daya beli melemah. Daya beli melemah pilihannya tentu mencari yang lebih murah asal tetap bisa merokok.
BACA JUGA:95 Persen Laki-laki di Indonesia Perokok, Bos Djarum Tempati Peringkat 3 Orang Terkaya
Ketika satu bungkus rokok legal kini bisa tembus Rp35.000 - Rp45.000. Sedangkan rokok ilegal hanya dijual Rp10.000 - Rp15.000 bahkan ada yang lebih murah. Bagi buruh, petani, nelayan, atau pekerja harian lepas, selisih harga ini sangat berarti sekali. Bagi kelas menengah ke atas rokok legal berapun harganya tidak masalah.
Dalam logika sederhana ketika kebutuhan hidup mendesak tidak terpenuhi harga menjadi faktor penentu pilihan. Beralih ke rokok ilegal bukan semata karena ingin melanggar hukum tapi lebih karena ketidak mampuan untuk membeli yang legal. Ini pilihan rasional ekonomi memilih yang ilegal.
Harus dipahami pula bahwa kenaikan harga rokok legal yang kerap terjadi bukan hanya akibat kebijakan cukai akan tetapi karena perusahaan pengusaha memanfaatkan dan ingin selalu menambah keuntungan terus menerus dari bisnis rokok.
Dari sudut pandang hukum rokok ilegal jelas merugikan negara tidak ada setoran cukai dan tidak ada pemasukan pajak. Dari sudut pandang bisnis ancaman langsung bagi produsen rokok legal yang harus bersaing dengan produk murah tanpa beban pajak.
Sumber: